Oleh: Arifa Qanitah
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa sebelum datangnya Islam, kedudukan wanita sangat mengkhawatirkan. Persoalan hak-hak perempuan merupakan salah satu isu utama pemikiran Islam liberal di dunia Islam dewasa ini, disamping perlawanan atas teokrasi, masalah demokrasi, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir dan mengenai faham kemajuan. Charles Kurzman menulis bahwa persoalan hak-hak perempuan merupakan salah satu isu utama pemikiran Islâm liberal di dunia Islâm dewasa ini, disamping perlawanan atas teokrasi, masalah demokrasi, hak-hak non-Muslim, kebebasan berfikir dan mengenai faham kemajuan.
Kondisi wanita sebelum datangnya Islam sangat memprihatinkan. Wanita di zaman jahiliyah dipandang seperti hewan ternak yang bias dikontrol, dijual, atau bahkan diwariskan. Perempuan sebelum Islam tidak memperoleh hak-haknya menurut undang-undang dan tidak menempati kedudukannya dikalangan masyarakat sebagaimana yang seharusnya dan sewajarnya diberikan sesuai tugasnya yang besar di dalam kehidupan ini dan kedudukan yang seharusnya diakui oleh masyarakat.
Sampai saat ini, masih ada yang memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua (the second people) dan sifatnya tidak sejajar dengan para pria. Hal itu terlihat pada aturan, kebiasaan, budaya, dan penafsiran agama yang mengarah pada pengekangan dan perampasan hak-hak perempuan. Berbagai macam ketidakadilan banyak dirasakan kaum wanita di belahan dunia manapun, mereka dianggap makhluk yang lemah, sehingga penindasan terhadap wanita selalu saja terjadi, maka untuk menghadapi hal-hal tersebut dibutuhkan keberanian dari kaum wanita itu sendiri, hal ini berakibat munculnya Gerakan Feminisme Islam; yaitu suatu gerakan wanita Islam yang berusaha mewujudkan perlakuan yang sama diantara pria dan wanita dalam batas- batas yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kesadaran akan ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan telah mulai mendapat tanggapan yang terlihat dalam karya tulis muslimah pada akhir abad ke-19 sampai pada pertengahan abad ke-20 di Amerika. Gerakannya memfokuskan pada perolehan hak memilih (the right to vote), namun akhirnya gerakannya tenggelam. Kemudian sekitar tahun 1960-an dengan terbitnya The Feminism Mistique, yang ditulis oleh Betty Friedan, gerakan ini menjadi gerakan yang sangat berpengaruh dalam memberikan kesadaran baru tentang kedudukan perempuan. Para Feminis Muslim mulai menulis tentang peran gender dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat, eksploitasi perempuan, misogyni dan tentang sistem patriarki itu sendiri.
Dari sinilah kemudian muncul feminis-feminis Muslim, seperti Aisyah Taymuriyah, penulis dan penyair Mesir; Zainab Fawwaz, esais Lebanon; Rokaya Sakhawat Hosain, dan Nazar Sajjad Haidar dari India, melalui cerita cerpen, novel dan artikelnya; R.A. Kartini dari Jawa, Emil Ruete dari Zanzibar; Taj al-Salthanah dari Iran; Huda Sya’rawi dan Nabawiyah Musa dari Mesir dan lain-lain. Yang kemudian dalam tahun-tahun terakhir munculah nama Fatima Mernissi dari Maroko.
Biografi Fatimah Mernissi
Fatima Mernissi lahir di Fez Maroko pada 27 September 1940, salah seorang feminis Arab muslim terkenal. Merupakan generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Fatima Mernissi lahir dalam lingkungan harem, dan menghadapi dua kultur keluarga yang berbeda, yaitu lingkungan keluarga ayahnya di kota Fez, harem disimbolkan dengan dinding-dinding yang tinggi. Sementara dari keluarga ibunya, yaitu rumah neneknya Lalla Yasmina, yang berada jauh dari perkotaan, harem diwujudkan dalam bentuk rumah yang dikelilingi oleh kebun yang luas. Di rumah neneknya ini, Fatima Mernissi mendapat pengalaman berharga tentang kesetaraan sesama manusia, arti keterkungkungan dalam harem, serta hubungan sebab akibat antara kekalahan politik yang dialami kaum muslim dengan keterpurukan yang dialami perempuan. Tumbuh kembang di lingkungan diskriminasi timpang antara kebebasan perempuan dan laki-laki, membuatnya mempertanyakan ketidakadilan posisi perempuan.
Kendati Fatima Mernissi lahir dalam sebuah harem, akan tetapi ia tergolong beruntung masih bisa mendapatkan pendidikan. Hal ini kontra dengan para Wanita dalam harem yang lebih senior darinya, mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan. Fatima Mernissi lahir di saat Maroko sedang dikuasai oleh kaum nasionalis yang sedang berupaya untuk memberikan pendidikan yang setara bagi laki-laki dan wanita dan berjanji untuk menghapuskan poligami serta mengangkat status Wanita menjadi setara dengan laki-laki. Para reformer Maroko, dengan terilhami gagasan Muhammad Abduh, melancarkan gerakan pendidikan di Fez, Rabat, Sale dan kota-kota lainnya, mendirikan sekolah-sekolah untuk mengajarkan tata Bahasa Arab, etika, logika, sejarah Islam dan aritmatika, tetapi tidak mengajarkan ilmu pengetahuan modern.
Fatimah Mernissi pada waktu mengenyam pendidikan Al Qur’an masih demikian muda dan ia telah menerima penjelasan dari gurunya Lala Tam selaku Kepala sekolah mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengetahui batas-batas kesucian (hudud), menjadi muslim bermakna menghargai hudud, dan hal inilah membuat Fatimah Mernissi ragu-ragu terhadap segala sesuatu yang ia kerjakan. Ia masih beruntung karena memiliki nenek yang arif, Lala Yasmina namanya, banyak memberi penjelasan dan menjadikan hatinya lebih tenang. Segala ketidakadilan akan perlakuan terhadap perempuan ia sadari melalui neneknya, hingga akhirnya ia belajar dan fokus pada kajian tentang perempuan.
Selain neneknya, ibunya juga merupakan seorang wanita yang berperan penting dalam membentuk Fatima Mernissi dewasa. Ibunya percaya bahwa laki-laki dan wanita memiliki potensi dan derajat yang sama. Sehingga inferior di satu sisi dan superior di sisi lainnya tidak dapat diterima dan sebaliknya bertentangan dengan Islam. Pihak superior dapat mensubordinasi pihak inferior. Ibunya menekankan pada Fatima Mernissi bagaimana cara bertindak dan bagaimana menjadi perempuan yang bijak.
Kebijakan yang dimiliki Fatima Mernissi membawanya banyak berpikir mengenai islam dan kesetaraan gender. Ketika masa remaja, gurunya mengajarkan kitab Al Bukhari yang di dalamnya menyebutkan bahwa: “anjing, keledai dan wanita akan membatalkan sholat seseorang apabila melintas di depan mereka, menyela antara orang yang sholat dengan kiblat”. Perasaannya terguncang dan bertanya-tanya, dan hampir tak pernah mengulanginya, dia mengatakan: bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadis itu, yang melukai hati saya? Terutama karena pernyataan itu tidak sesuai dengan cerita mereka tentang kehidupan Nabi Muhammad”. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad yang terkasih telah melukai perasaan gadis, yang saat pertumbuhannya berusaha menjadikannya pilar romantisnya.
Ketika masa dewasa, kegelisahannya diawali dengan pertanyaaan kepada seorang pedagang sayur langganannya: “Bisakah jika seorang perempuan menjadi pemimpin kaum Muslim?“ Dia (pedagang sayur) tersebut kemudian berseru: “Na’udzu billâh min dzâlik dengan penuh rasa kaget”. Kemudian seorang guru yang belum saya kenal menyerang dengan mengatakan “suatu kaum yang menyerahakan urusan mereka kepada seorang wanita tidak akan memperoleh kemakmuran”. Mernissi tidak dapat mengucapkan apa-apa. Baginya dalam sejarah Islâm, hadîts bukan sesuatu yang sembarangan. Mernissi meninggalkan toko dengan diam, kalah dan marah. Akhirnya, dia mendadak merasakan kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan informasi mengenai hadis tadi dan mencari nash-nash yang disebutkan untuk bisa memahami dengan baik.
Kemudian ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya di Universitas Muhammad V di Rabat, dengan mengambil program ilmu politik yang diselesaikan pada tahun 1965. Selanjutnya melanjutkan ke Paris, dan sempat bekerja sebagai wartawan, pada tahun 1973. Dia meyelesaikan program doktornya dalam bidang sosiologi dari Universitas Brandeis. Dia kembali ke Maroko tahun 1974-1981, dan dia mengajar pada Departemen Sosiologi di Universitas Muhammad V, sekaligus dosen The Institute of Scientific Research, pada universitas yang sama. Selain itu, ia juga bertindak sebagai konsultan di United Nation Agencies, dan terlibat secara aktif dalam gerakan perempuan, serta sebagai anggota Pan Arab Woman Solidarity Association. Dia sangat produktif dalam menulis, di antara karya-karyanya yang telah terbit dalam bahasa inggris adalah Beyond the veil, Doing Daily battle, women and Islam, The Forgotten Queens o Islam, Islam and Democracy, The Harem within.
Berbagai macam pengalaman disertai latar belakang dalam keluarganya, sebagaimana disebutkan di atas pada akhirnya berakibat ia memiliki tekad yang bulat dan semangat yang tinggi, maka Fatimah Mernissi berusaha bangkit untuk memperoleh jalan keluarnya serta menegakkan kebenaran dan keadilan terutama bagi kaum wanita. Dengan pengalaman hidup dan bekal ilmu yang ia miliki, menjadikan ia terjun ke dunia feminis dan bergerak memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Sehingga pemikirannya sampai saat ini diikuti banyak kaum feminis islam.
Pemikiran Fatimah Mernissi
Istilah feminisme pertama kali digunakan pada tahun 1890 M, dan sejak itu istilah feminisme mulai dikenal secara luas. Gerakan feminisme Muslim meliputi kesadaran perempuan akan pembatasan atas dirinya karena gender, penolakan perempuan terhadap ketidakadilan dan berusaha membangun system gender yang lebih adil, yang melibatkan peran baru perempuan dan hubungan lebih optimal di antara laki-laki dan perempuan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat disepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarki yang jumlahnya tidak seberapa.
Bentuk pemikiran feminis muncul dalam masyarakat Muslim yang mengalami modernisasi, pengembangan kota, pembentukan negara modern, kolonialisasi dan imperialisasi, gerakan kemerdekaan nasional, peperangan dan agresi serta demokratisasi. Dengan melihat kondisi yang ada pada saat itu, feminisme perempuan Muslim menggugat berbagai system patriarki dan merubahnya menjadi lebih egaliter.
Pemikiran Fatima Mernissi dalam menggugat sistem patriarki, nampaknya dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis. Fatima Mernisi sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan individu yang berkembang di barat. Gerakan feminisme di barat semakin menyadarkan betapa dominasi laki-laki, masih bertahan di dunia Arab. Hal ini terlihat, ketika perang teluk berlangsung semua tertarik untuk memperjuangkan kemerdekaan dan untuk menuntut dihentikannya perang, termasuk di dalamnya perempuan. Pasca perang, perempuan Arab disuruh kembali ke balik cadar. Muslimah dilarang untuk berhubungan dengan dunia luar dengan simbol kewajiban memakai purdah.
Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan. Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduknya antara yang profan dan yang sakral, antara Allâh dan kepala negara, antara Al-Qur’an dan fantasi-fantasi imam harus didekonstruksi. Mernissi berpendapat bahwa apa yang Al-Qur’an terjemahkan berbeda dengan fantasi-fantasi yang dibayangkan oleh para imam.
Fatimah Mernissi mengadakan analisis secara historis dan interpretasi terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan Al Hadis). Penelitian historis demikian penting untuk membuka wacana dari berbagai pertentangan pendapat yang berkisar tentang persoalan kaum wanita dan akhirnya diperoleh hasil bahwa para ahli sejarah Islam pada mulanya memberi kesempatan baik kepada wanita, hal ini sebagaimana terdapat di dalam karya-karya mereka. Para ahli sejarah tersebut membahas seorang wanita tidak hanya sebatas kedudukannya sebagai seorang ibu (wanita), namun juga mempertegas kaum wanita yang berperan aktif dan teman yang selalu mendampingi dalam berbagai peristiwa penting yang menciptakan hasil budidaya manusia. Peran serta kaum Wanita diakui dengan secara nyata dan objektif (tidak ditambah atau dikurangi), baik selaku sahabat Nabi atau pun perawi hadis.
Metode berfikir Mernissi nampaknya juga dipengaruhi oleh Muhammad al-Ghazâli, yaitu dalam kaitannya dengan studi kritik hadîts. Hadîts misoginis tentang kepemimpinan perempuan nampaknya dipengaruhi oleh al-Ghazâli, yang pemahamannya dikaitkan dengan Al-Qur’ân Surat al-Mu`minûn (23): 23, yang bercerita tentang Ratu Saba. Mernissi berkesimpulan bahwa al-Qur’ân sebagai kitab suci yang bersumber dari Wahyu adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada hadîts yang hanya berupa pelaporan dari para sahabat yang dianggap mengetahui perbuatan dan perkataan yang bersumber dari Nabî.
Disamping itu, pola pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri juga amat mempengaruhi pemikirannya, yang menyebutkan karyanya Nahnu wa al-Sarwa dan Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabi. Dia (al-Jabiri) mengkritik kaum Muslim dan para politisi Arab tidak bisa secara adil dalam bersikap terhadap perubahan yang terjadi. Pemikiran masyarakat Arab harus dirubah dalam menyikapi kemajuan dan modernisme, terutama dengan berubah metode berfikirnya.
Hal yang demikian, terlihat bahwa Mernissi berusaha membangun kembali penafsiran dengan menghubungkan konteks sosialnya. Metode berpikir inilah yang membuat Fatima Mernissi terpengaruh untuk memperjuangkan hak-hak perempuan muslim yang tertindas, mengambil jalan sebagai seorang feminis muslimah untuk merapatkan barisan kaum ibu dan memenggal segala ketertindasan pada mereka. Bukan sekadar gerakan perempuan tanpa alasan, Mernissi memperkuatnya dengan berusaha menelusuri khazanah keilmuan, baik berupa penafsiran ayat-ayat al-Qur’ân atau hadîts-hadîts misoginis.
Khazanah keilmuan yang membentuk pikiran Mernissi didasarkan dengan pendekatan historis-sosiologis, yang tentu saja sesuai dengan latar belakang pendidikannya, maka nampak jelas metode analisis yang digunakan menggunakan analisis hermeneuti, atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan hermeneutik hadîts. Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya yang keras untuk membongkar hadîts-hadîts yang bernuansa misoginis. Serta analisis hermeneutiknya, nampaknya dekonstruksi penafsiran terhadap teks, merupakan hal yang penting untuk merekonstruksi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hermeneutika ini sendiri merupakan interpretasi teks yang bersifat terbuka di mana teks merupakan sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak lagi dikaitkan oleh penulis. Dengan menggunakan teori hermeunetika, subyektif ini dapat memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini dan sesuai dengan subyektifitas penafsir.
Bias gender merupakan kata kunci yang dapat dipahami dari pemikiran Mernissi. Para penafsir teks, yang mempunyai kecenderungan misoginis, sebenarnya hanyalah merupakan produk pemikiran, dan bukanlah penafsiran yang bersifat final. Penafsiran terhadap teks, dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan persoalan gender. Persolan bias gender, meminjam istilahnya Peter L. Berger, merupakan sebuah konstruksi sosial, yang didasarkan pada kepentingan tertentu, baik secara individu maupun dalam sistem masyarakat yang patriarkhi. Menurut Mernissi terjadinya ketidakadilan, diskriminasi, pengasingan dan domestikasi perempuan, sebenarnya telah diciptakan oleh struktur sosial yang patriarki, atau dengan kata lain bias gender telah dibentuk oleh masyarakat patriarkhi
1. Pandangan Mernissi tentang Kesetaraan
Mernissi mengatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan itu setara. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan itu didasarkan atas nash. Dia menceritakan protesnya Ummu Salamah kepada Rasulullah, yang mengatakan: “Mengapa hanya pria yang disebutkan dalam al Qur’ân?”, yang kemudian turunlah ayat yang berkaitan dengan kesetaraan seperti dalam al- Ahzâb(33): 35, merupakan bukti bahwa konsep kesetaraan tersebut telah tersurat. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa perempuan muslimah memiliki kedudukan yang setara dengan kaum lelaki. Bahwa keduanya dapat saling bekerjasama dan bahu-membahu dalam setiap urusan bersama, baik itu keluaga, bahkan urusan perpolitikan dan sosial.
Dalam yang lain, Mernissi mengatakan dengan tegas : “Jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi kaum lelaki muslim modern, hal itu bukanlah karena al-Qur’ân ataupun Nabi, bukan pula karena tradisi Islâm, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit lelaki“. Menurutnya bahwa kelompok elit yang egois, subyektif dan picik tersebut, meyakinkan bahwa pandangannya memiliki landasan sakral. Pada hal itu hanyalah sebuah klaim belaka.
Dalam karyanya Beyond the Veil : Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society(1975), Mernissi berusaha merebut kembali wacana ideologis mengenai perempuan dan seksualitas dari cengkeraman sistem patriarkhi. Dia secara kritis mengkaji teks-teks hukum- keagamaan dalam kitab-kitab klasik, termasuk hadis, dan menafsirkannya kembali dari perspektif feminis. Menurutnya, sikap Muslimah yang pasif, pendiam dan penurut, tidak sesuai dengan pesan autentik ajaran Islâm. Hal itu hanyalah sebuah konstruksi para ulama, ahli hukum dan teolog laki-laki yang memanipulasi dan mendominasi teks agama untuk mempertahankan sistem patriarkhi.
2. Pandangan Mernissi Tentang Kepemimpinan Perempuan dan Kritiknya
Al Bukhari dalam kitab hadisnya menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang artinya: “barang siapa yang menyerahkan urusan pada Wanita maka mereka tidak akan mendapat kemakmuran”. Abu Bakrah mengatakan bahwa hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika orang-orang Persia mengangkat seorang wanita untuk menjadi pemimpin mereka. Kemudian Rasulullah bertanya: “Siapakah yang telah menggantikannya sebagai pemimpin”. Jawab Abu Bakrah: “Mereka menyerahkan kekuasaan kepada putrinya”. Lalu Rasulullah bersabda sebagaimana tersebut di atas.
Berdasarkan hadis ini, menurut Fatima Mernissi, persoalan mendasar yang perlu dipertanyakan adalah ”mengapa hadis tersebut diungkapkan oleh Abu Bakrah, ketika Aisyah mengalami kekalahan pada perang jamal”. Menurut Fatima Mernissi, bahwa Abu Bakrah mengungkapkan hadis tersebut ketika menolak untuk ikut terlibat dalam perang saudara. Ibn Hajar al-Asqalani menceritakan, ketika Abû Bakrah dihubungi oleh Âisyah, secara terbuka ia menyatakan sikap menentang fitnah. Abû Bakrah menjawab:“Adalah benar anda Umi kami, adalah benar anda memiliki atas kami, tetapi saya mendengar Rasûlullâh bersabda: (seperti tersebut di atas).
Fatimah Mernissi melakukan kritikannya terhadap Abu Bakrah dalam kaitannya meriwayatkan hadis tersebut, yaitu :
a. Abu Bakrah semula adalah seorang budak yang kemudian dimerdekakan saat bergabung dengan kaum muslimin. Oleh karena itu, ia sulit dilacak silsilahnya. Dalam tradisi kesukuan dan aristrokasi Arab, apabila seseorang tidak memiliki silsilah yang jelas, maka secara sosial tidak diakui statusnya. Bahkan, Imam Ahmad yang melakukan penelitian biografi para sahabat mengakui telah melewatkan begitu saja Abu Bakrah dan tidak menyelidikinya secara lebih mendetail.
b. Abu Bakrah pernah dikenai hukum qadzaf, karena tidak dapat membuktikan atas tuduhan zinanya yang dilakukan oleh al Mughirah ibn Syu’bah beserta saksi lainnya, pada masa khalifah Umar bin Khattab. Menurut Fatima Mernissi, dengan menggunakan standar penerimaan hadis yang dikemukakan Imam Malik, diantaranya bukan termasuk pembohong, dan tidak pernah melakukan bid’ah, maka periwayatan Abu Bakrah tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan atas Tindakan kebohongan yang telah dilakukannya.
c. Berdasarkan konteks historis, Abu Bakrah mengingat hadis tersebut ketika Aisyah mengalami kekalahan dalam perang jamal, ketika melawan Ali bin Abi Tholib. Pada hal sikap awal yang diambil Abu Bakrah adalah bersifat netral. Lantas mengapa ia justru mengungkapkan hadis tersebut yang seakan menyudutkan Aisyah.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, Fatima Mernissi berkesimpulan bahwa meskipun hadis tersebut dimuat dalam shahih al Bukhari, namun masih diperdebatkan oleh para fuqaha. Menurutnya, hadîts tersebut dijadikan argumentasi untuk menggusur kaum wanita dalam proses pengambilan keputusan. Namun al-Thabarî meragukannya, dengan mengatakan tak cukup alasan untuk merampas kemampuan wanita dalam pengambilan keputusan dan tidak ada alasan untuk melakukan pembenaran atas pengucilan mereka dari kegiatan politik.
Menurut Mernissi, perempuan juga layak dijadikan pemimpin. Dalam kasus Ratu Balqis misalnya, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimiliki Ratu Balqis seakan menempis hadis misoginis yang melarang perempuan menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan politik, dan perempuan memiliki hak politik yang sama dengan laki tidak menyebutkan bahwa perempuan tidak cocok menjadi laki. AlQur’an pemimpin justru gambaran kepemimpinan Ratu Balqis telah menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin yang sah dan membawa kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya.
3. Pandangan dan Kritik Mernissi tentang Ibadah Perempuan
Al Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “anjing, keledai, dan wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka dan menyela dirinya antara orang-orang yang sholat dengan kiblat”. Fatima Mernissi melaukan kritik terhadap hadis ini dengan mendasarkan diri pada koreksi Aisyah kepada Abu Hurairah yang secara harfiah (ayah kucing betina kecil). Nama pemberian Rasulullah ini tidak disenanginya dengan mengatakan; “jangan panggil saya abu Hurairah. Rasulullah menjuluki saya nama Abu Hirr (ayah kucing jantan), karena jantan lebih baik dari betina”. Abu Hurairah memiliki semacam kecemburuan berlebihan terkait kucing betina dan kaum wanita. Hal ini yang mendorong Rasulullah, kata Abu Hurairah, untuk mengatakan yang menjadikan kucing betina jauh lebih baik dari wanita, akan tetapi hal ini ditentang oleh Aisyah.
Dalam riwayat yang lain, bahwa suatu ketika Aisyah ditanya tentang tiga hal yang membawa bencana, yaitu rumah, wanita dan kuda, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah. Aisyah mengatakan bahwa Abu Hurairah itu mempelajari hadis ini secara buruk. Abu Hurairah memasuki rumah kami ketika Rasulullah di tengah-tengah kalimatnya. Dia hanya sempat mendengar bagian terakhir dari kalimat. Rasulullah sebenarnya mengatakan:“semoga Allah SWT membuktikan kesalahan kaum Yahudi; mereka mengatakantiga hal yang membawa bencana, yaitu rumah, wanita dan kuda”.
Tindakan Abu Hurairah juga sempat menjengkelkan Umar, ketika ditawari suatu pekerjaan dengan mengatakan bahwa dirinya orang yang terbaik. Berdasarkan argumentasi ini Fatima Mernissi tidak dapat menerima hadis misogini ini. Dia berusaha menyingkap keraguan berkenaan Tindakan diskriminasi yang dilakukan Abu Hurairah. Abu Hurairah memang banyak meriwayatkan hadis, namun banyak hadis yang diriwayatkannya bernuansa misogini. Fatima Mernissi berusaha membongkarnya, walaupun hadis tersebut dimuat dalam Shahih al Bukhari.
Pemikiran Fatima Mernissi yang lainnya yaitu tentang penafsiran ayat hijab, seperti yang ada dalam surat al Ahzab (33): 53. Dengan meneliti sebab-sebab turunnya, bahwa ayat ini bukanlah menjustifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan. Karena turunnya ayat ini berkaitan dengan peristiwa ketika Rasulullah menikah dengan Zaynab ibn Jahsi. Rasulullah merasa risih dengan beberapa sahabat yang tidak segera pulang setelah menghadiri pernikahannya. Kegelisahan Rasulullah itu akhirnya dijawab dengan turunnya ayat 53 surat al Ahzab.
Menurut at Thabari, ayat hijab ini mengandung pemahaman adanya pembagian ruang menjadi dua kawasan, yaitu yang memisahkan masing-masing dari dua laki-laki yang ada saat itu, Nabi Muhammad SAW dan Anas. Dari sinilah sumber yang dibenarkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, menurunkan atau menarik sebuah tirai (satrun) antara diri beliau dengan Anas, dan ayat tentang hijab ini akhirnya diturunkan. Hal ini dapat dipahami bahwa tindakan Rasulullah yang menarik sebuah tirai adalah untuk menutupinya antara dirinya dengan Anas.
Menurut Fatima Mernissi, jika ayat ini dibaca secara cermat, maka akan didapatkan pemahaman bahwa penekanan Allah SWT dalam ayat ini adalah soal kebijaksanaan. Dan ingin mengajarkan kepada para sahabat beberapa aspek sopan santun yang tampaknya belum membudaya. misalnya bila memasuki rumah, maka harus meminta izin.
Berdasarkan fenomena hijab tersebut, menurut Fatima Mernissi dapat diambil pengertian bahwa para sahabat nampaknya amat terbiasa mengunjungi rumah Rasulullah, tanpa formalitas apapun. Begitu juga dapat dipahami, rumahnya gampang dikunjungi oleh umatnya tanpa terjadinya pemisahan antar kehidupan pribadi (tempat tinggal istri-istri Nabi) dengan ruang publik (masjid). Dengan pemahaman ini, sebenarnya tidaklah terjadi pemisahan antara laki- laki dan perempuan dalam memainkan peran domestik dan publik.
Catatan Akhir
Fatima Mernissi lahir di Fez Maroko pada tahun 1940. Salah seorang feminis Arab muslim terkenal. Merupakan generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Fatima Mernissi lahir dalam sebuah keluarga yang masih memegang tradisi bahwa wanita harus dibatasi ruang geraknya. Tradisi ini di Maroko disebut dengan harem.
1. Pemikiran Fatima Mernissi dalam menggugat sistem patriarki, nampaknya dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis. Fatima Mernisi sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan individu yang berkembang di barat. Gerakan feminisme di barat semakin menyadarkan betapa dominasi laki-laki, masih bertahan di dunia Arab. Hal ini terlihat, ketika perang teluk berlangsung semua tertarik untuk memperjuangkan kemerdekaan dan untuk menuntut dihentikannya perang, termasuk di dalamnya perempuan.
2. Metode berfikir Mernissi juga dipengaruhi oleh Muhammad al-Ghazâli, yaitu dalam kaitannya dengan studi kritik hadîts. Hadîts misoginis tentang kepemimpinan perempuan.
3. Dalam memperjuangkan gagasannya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, Fatima Mernissi melakukan kritik terhadap hadis-hadis misogini dan beberapa ayat Al Qur’an yang menurutnya dalam tafsirannya menyimpang. Fatima Mernissi telah berusaha membongkar bangunan penafsiran para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi patriarki. Konsep persamaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam nash. Seandainya terdapat proses marginalisasi peran perempuan dari kehidupan publik atau domestik perempuan, sebenarnya merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti: politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Oleh: Arifa Qanitah
Penulis adalah Mahasiswi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar- Raniry
Sumber dari berbagai sumber, dan tanggung jawab penulis.
Comment