Kita hanya bisa berharap agar Dewan Perwakilan Rakyat Aceh benar-benar memikirkan kepentingan rakyat. Karena dalam sepekan terakhir, yang terlihat hanya keinginan sekelompok orang di DPR Aceh untuk mengutak-atik anggaran.
Hasrat itu terlihat jelas saat dewan mencoba mengubah anggaran yang telah disahkan dalam Qanun Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2020. Dan item yang menjadi sorotan adalah pembangunan infrastruktur yang dilakukan dengan skema tahun jamak. Item itu dibiayai dengan dana otonomi khusus Aceh.
Dengan uang itu, 12 ruas jalan di kawasan pedalaman Aceh akan dibangun. Sejak awal, sejumlah kepala daerah menyampaikan persetujuannya terhadap rencana itu.
Mereka menilai keberadaan jalan ini akan melancarkan mobilitas orang dan barang dari dan keluar daerah. Dengan demikian, hasil pertanian dari daerah pedalaman dapat diangkut lebih cepat dan hasil perkebunan serta pertanian bisa lebih cepat terjual. Di awal, DPR Aceh mendukung rencana ini. Kesepakatan itulah yang menjadi dasar eksekutif dan legislatif mengesahkan APBA 2020 menjadi qanun yang saat ini tengah berjalan, meski sebagian harus disusun ulang akibat pandemi covid-19.
Susun ulang ini pula yang menyebabkan anggaran Aceh tahun ini bermasalah. Hingga pertengahan tahun, serapan APBA 2020 tak menyentuh angka 20 persen.
Padahal, perekonomian Aceh sangat bergantung pada kucuran anggaran daerah. Alhasil, di mana-mana, rakyat mengeluh kesulitan, dampak tak ada uang yang beredar. Di Bogor, saat bertemu dengan sejumlah kepala daerah, Presiden Joko Widodo meminta agar Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur.
Presiden berharap, langkah ini dapat mendorong belanja modal yang berefek pada peredaran uang di Aceh. Entah apa yang ada di kepala sejumlah anggota dewan, mereka malah berusaha membatalkan hal ini.
Entah rumus apa pula yang mereka pakai sebagai dasar pembatalan proyek tahun jamak ini. Sudah sangat jelas bahwa legislatif tak berhak mengubah Qanun APBA yang disepakati bersama-sama oleh DPR Aceh dan Gubernur Aceh. Kalaupun ada indikasi kecurangan oleh Pemerintah Aceh, selaku eksekutor, dewan harusnya mendorong agar proyek itu dijalankan dengan sungguh-sungguh lewat pengawasan ketat. Itulah fungsi dewan sebenarnya: menjadi mata dan telinga rakyat Aceh.
Dengan demikian, eksekutif tidak akan berani main-main. Bahkan jika ditemukan pelanggaran, ini bisa jadi modal bagi DPR Aceh untuk meminta pertanggungjawaban eksekutif atau bahkan melaporkan temuan itu kepada aparat penegak hukum.
Pengawasan ketat akan lebih baik ketimbang dewan meradang dan hantam kromo. Jangan sampai malah membuat dewan jadi bahan tertawaan. Karena apapun ceritanya, mereka adalah wakil-wakil pilihan rakyat. Di wajah merekalah kehormatan masyarakat Aceh diletakkan.[]
Sumber: AJNN
Comment