Oleh: Risman Rachman
KITA patut menyambut antusias ajakan Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah, MT untuk memerangi hoaks. Bahkan, oknum penyebar berita bohong akan dipantau dan ditanggapi secara hukum. Akan tetapi, berita bohong dan kritik haruslah dibedakan. Sebab, yang satunya memiliki daya rusak, satunya lagi memiliki daya bangun, karena itu sah, dibenarkan bahkan dianjurkan serta dihormati.
Ajakan memerangi hoaks (bukan memerangi kritik) oleh Gubernur Aceh, sebagaimana disampaikan oleh Kuasa Hukum Pemerintah Aceh, sangat kontekstual dengan jati diri Aceh sebagai negeri bersyariah. Islam dengan sangat jelas melarang memproduksi dan menyebar berita bohong karena sifatnya yang lebih pada dugaan, bertentangan dengan fakta, menghebohkan, dan menipu.
Pada saat yang sama Islam juga menyeru untuk menyampaikan kebenaran walau satu ayat dan pahit karena kritik membuka kesadaran, mengembalikan kepada keadaan yang semestinya dan mencegah kerusakan bahkan mendorong perbaikan yang partisipatif.
Terkait hoaks, dikarenakan pelakunya senantiasa ada, maka Islam memerintahkan secara khusus pemeluknya untuk melakukan tabayun setiap kali menerima informasi dari sumber yang tidak kredibel (fasiq).
Berita bohong tentang “buah keabadian” (quldi) yang diproduksi oleh iblis adalah bukti hoaks memiliki daya rusak yang akhirnya mengubah jalan hidup Adam dan Hawa, dari bermukim di surga menjadi berkehidupan di bumi.
Kehadiran Nabi dan Rasul juga salah satu misinya meluruskan kembali pesan-pesan kebenaran dari Tuhan yang dengan sengaja dibengkokkan oleh mereka yang memiliki motif membelokkan umat dari hidup yang benar.
Benturan sesama muslim juga salah satunya karena peran dari pelaku dan penyebar hoaks hadis palsu yang tidak hanya melahirkan polarisasi yang tajam dikalangan sesama muslim, malainkan juga memakan korban umat Islam itu sendiri termasuk para pemimpin Islam seperti Usman dan Ali.
Untuk apa kabar bohong diproduksi dan disebar? Dari sejak zaman terpecahnya umat Islam sampai saat ini kabar bohong selalu digunakan dengan sengaja untuk membangun keraguan, memicu kegaduhan, dan merusak trust, sehingga masyarakat terbelah secara sosial dan politik untuk kemudian dikendalikan dan akhirnya dipetik manfaat politiknya.
Di sisi lain, peran kritik atau dakwah juga sangat menentukan jalannya sejarah umat Islam, termasuk terhadap jalannya kekuasaan Islam atau negeri-negeri yang dipimpin Muslim dari waktu ke waktu. Dengan adanya kritiklah, kekuasaan yang korup dan tiran dihentikan, minimal dapat ditahan daya rusaknya terhadap rakyat.
Sejauh ini, Pemerintah Aceh, sangat welcome dengan kritik. Saat inilah kritik paling asyik disampaikan tanpa rasa takut, dan sampai hari ini juga tidak ada pihak yang memproduksi kabar kritik yang digugat ataupun “dipaksa” untuk tidak lagi menyampaikan kritik. Bandingkan dengan suasana di nasional.
Berbagai aksi menyampaikan aspirasi yang disertai kritik juga berlangsung dengan aman, mulai dari aksi dalam bentuk demontrasi langsung hingga ke aksi demo dengan papan bunga. Semua aspirasi didengar bahkan ada yang diajak berdialog, dan melalui Humas disampaikan tanggapan terhadap isu-isu yang menjadi perbincangan hangat di publik, bahkan terhadap perbincangan yang dipicu oleh hoaks itu sendiri.
Suasana batin demokrasi ini tentulah sangat menggembirakan dan menjadi bukti bahwa Aceh sudah benar-benar meninggalkan era pake menjadi era pike. Segenap aspirasi sudah menemukan salurannya baik secara formal maupun melalui cara-cara yang dilindungi oleh konstitusi, termasuk melalui aksi demo.
Lagi pula, di era keterbukaan informasi publik, nyaris tidak ada lagi informasi yang bisa disembunyikan sebab pada akhirnya informasi yang dibutuhkan, jika tidak diberikan, dapat dilakukan gugatan informasi.
Di sinilah relevansinya menanggapi pelaku hoaks dengan pendekatan hukum. Pelaku hoaks dan penyebar hoaks bukan karena mereka tidak tahu, bukan juga karena tidak memiliki kesempatan untuk tahu fakta sesungguhnya, melainkan memang berniat dan berkerja menciptakan kabar bohong dengan maksud-maksud nakal.
Maka, untuk menghentikan daya rusak dari kabar bohong yang memicu keragu-raguan, kegaduhan, dan rusaknya kepercayaan maka perbuatan membuat dan menyebar kabar bohong harus ditanggapi secara hukum, bukan dengan cara-cara yang justru berpotensi melanggar hukum. Untuk itu sangat penting untuk dipisahkan kabar bohong dengan kritik sehingga tidak malah mematikan partisipasi warga dalam pembangunan.
Pembangunan harus terus ada dalam dialog dan perbincangan publik sehingga mereka yang berpotensi nakal dalam kerja-kerja pembangunan dan mengelola pemerintahan dapat dicegah sedini mungkin dengan partisipasi publik, termasuk melalui kritik, tapi jelas bukan dengan hoaks. []
Comment