Oleh: Arief Fadhillah, S.I.Kom, M.Sos
Kehadiran etnis Tionghoa di Kota Banda Aceh bermula dari abad ke-17 yang diyakini berasal dari Provinsi Kwatung di China yang melakukan migrasi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Setelah menetap selama dua abad, etnis Tionghoa mengukuhkan eksistensinya di kota Banda Aceh. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pemeluk agama Budha sebagai agama terbesar kedua setelah pemeluk agama Islam serta hadirnya kawasan pecinan yang berada di Kota Banda Aceh yang terkenal dengan kawasan Peunayong.
Peunayong sendiri berasal dari kata Peumayong yang berarti tempat berteduh karena dulunya daerah ini banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang sangat rimbun dan menjadi tempat persinggahan sampai ke daerah Ujong Peunayong (saat ini Desa Lampulo).
Dalam sebuah hikayat disebutkan juga Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan China.
Adapun hal yang menarik dari Peunayong adalah aktivitas masyarakat di pasarnya, yang merupakan salah satu pasar terbesar di Kota Banda Aceh. Sejak dini hari, ribuan masyarakat dengan beragam latar belakang dan etnis melakukan transaksi jual-beli.
Mayoritas pedagang merupakan etnis Tionghoa, sedangkan pembeli yang datang berasal dari berbagai etnis. Peunayong menjadi ikon kampung keberagaman karena heterogenitas masyarakat dengan beragam etnis dan agama dapat hidup rukun dan damai di sana sejak dahulu hingga saat ini.
Keberagaman masyarakat yang berdagang di sana membentuk proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya dijelaskan sebagai komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.
“Semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula potensi hilangnya peluang untuk merumuskan tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif” seperti yang diungkapkan Liliweri dalam bukunya Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya.
Sebagaimana diketahui Pasar Peunayong merupakan tempat awal terjadinya praktik pertukaran informasi lintas budaya antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya. Hal ini dapat diamati dari aktivitas para penjual yang mayoritas merupakan etnis Tionghoa saat berkomunikasi dengan para pembeli yang umumnya merupakan etnis Aceh.
Dalam komunikasi sehari-hari khususnya dalam berdagang, etnis Tionghoa menggunakan Bahasa Khek sebagai bahasa utama untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa Khek dipilih karena mayoritas etnis Tionghoa di Banda Aceh adalah keturunan dari suku Khek (Hakka) Provinsi Kwatung seperti ditulis Usman dalam bukunya Etnis Cina Perantauan di Aceh.
Selain bahasa Khek, terdapat pula bahasa Hokkien yang juga digunakan oleh etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara dan pulau Jawa. Sebagian dari etnis Tionghoa juga menguasai bahasa Aceh. Bahasa Indonesia tetap digunakan sebagai bahasa pemersatu. []
Comment