Oleh : Teuku Muhammad Thariq Syah Banta
Kekerasan seksual adalah fenomena yang telah terjadi di banyak tempat, termasuk di lingkungan kampus. Fenomena ini berdampak sangat luas dan mendalam terhadap kehidupan mahasiswa. Di tengah tuntutan akademik dan mimpi-mimpi besar yang ingin diwujudkan, para korban kekerasan seksual harus menghadapi trauma yang mengganggu kesejahteraan mental dan emosional mereka. Oleh karena itu, topik ini penting untuk dibahas secara serius guna menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pemulihan dan keadilan bagi para korban.
Kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual yang tidak diinginkan yang menyebabkan ketidaknyamanan, rasa malu, atau intimidasi pada korbannya. Kekerasan seksual sering kali tidak dianggap sebagai kekerasan yang serius karena perilaku tersebut kerap dipandang sebagai kejadian kecil. Pada kenyataannya, dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual sangat besar dan menyebabkan kerugian dari sisi psikologis korban.
Sering kali korban kekerasan enggan untuk menceritakan atau mencari bantuan atas pengalaman yang mereka alami. Hal ini terjadi karena munculnya rasa ketakutan dalam diri korban. Salah satu hal yang ditakuti adalah terkena victim blaming, yaitu kejadian di mana korban kekerasan seksual justru disudutkan atau disalahkan. Contohnya, korban disalahkan karena cara berpakaian mereka atau dianggap memprovokasi pelaku untuk berbuat kejahatan. Pada kenyataannya, orang yang berpakaian sangat tertutup dan sopan pun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini sangat tidak adil bagi korban karena menimbulkan tekanan dan rasa tidak berdaya, padahal kehidupan merekalah yang telah dihancurkan oleh pelaku kekerasan seksual.
Kehidupan para korban tentu saja menjadi lebih berat karena kekerasan seksual berdampak pada kesehatan mental mereka. Korban kekerasan seksual bisa mengalami berbagai gangguan seperti depresi, kecemasan berlebihan, dan hilangnya rasa percaya diri. Hal ini berdampak buruk pada kehidupan perkuliahan mereka, terutama ketika mereka harus tampil di depan banyak orang. Banyak korban kekerasan seksual mengalami mimpi buruk yang terus menerus terjadi. Hal ini menyebabkan mereka tidur tidak nyenyak di malam hari sehingga tidak mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Akibatnya, mereka merasa lelah saat berada di kelas. Kecemasan berlebihan juga membuat mereka sulit berkonsentrasi dalam memperhatikan pelajaran. Maka, tak jarang korban kekerasan seksual berpikir untuk berhenti kuliah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi psikologis mahasiswa korban kekerasan seksual sangat beragam dan kompleks. Dampak psikologis yang dialami oleh korban kekerasan seksual tidak hanya dipengaruhi oleh kejadian itu sendiri, tetapi juga oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial, kondisi lingkungan, dan cara mereka memproses peristiwa tersebut. Berikut ini menggambarkan beberapa elemen yang dapat berdampak pada psikologis mahasiswa korban kekerasan seksual:
1. Persepsi diri dan harga diri
Kekerasan seksual sering merusak persepsi korban tentang harga diri. Banyak korban mengalami perasaan malu, tidak berdaya, atau bahkan bersalah, terlepas dari kenyataan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Perasaan semacam itu dapat mempengaruhi citra diri dan kepercayaan diri mereka, yang penting untuk perkembangan psikologis yang sehat, terutama di usia mahasiswa yang merupakan fase penting dalam pembentukan identitas diri.
2. Dukungan sosial
Tingkat dukungan sosial yang diberikan kepada korban oleh keluarga teman, dan lingkungan kampus lsecara signifikan mempengaruhi proses pemulihan psikologis mereka. Mahasiswa yang merasakan dukungan dan penerimaan dari orang-orang terdekat cenderung memiliki kesempatan penyembuhan yang lebih besar dari trauma. Sebaliknya, ketika mereka menganggap diri mereka diabaikan, dikritik, atau disalahartikan, proses pemulihan cenderung sangat terhambat.
3. Stigma sosial
Stigma yang lazim dalam masyarakat atau kampus yang berkaitan dengan kekerasan seksual dapat memperburuk kondisi psikologis korban. Ketakutan dicap sebagai “lemah” atau “memalukan” sering berkontribusi pada rasa terisolasi, mendorong mereka untuk menahan diri dari mengungkapkan pengalaman mereka. Stigma ini dapat berakar pada kerangka sosial yang menyalahkan korban (victim-blaming), di mana komunitas atau rekan-rekan lebih menyalahkan korban atas apa yang terjadi, daripada memberikan dukungan.
4. Kesulitan dalam melaporkan kejadian
Proses hukum atau administrasi yang rumit dan terkadang tidak sensitif terhadap kebutuhan korban sering menjadi hambatan besar. Ketakutan akan tidak dipercaya, atau takut akan konsekuensi sosial dari melaporkan, dapat mempengaruhi kondisi psikologis korban. Banyak korban merasa trauma mereka tidak akan dipedulikan atau mereka akan dipermalukan jika mereka melapor.
5. Pengalaman sebelumnya
Faktor-faktor seperti riwayat kekerasan dalam rumah tangga, pengalaman masa lalu dengan pelecehan seksual, atau pengalaman traumatis lainnya dapat secara signifikan memperburuk dampak psikologis yang terkait dengan kekerasan seksual. Mahasiswa yang pernah mengalami trauma di masa lalu mungkin menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap gangguan psikologis yang lebih parah setelah kejadian tersebut.
6. Persepsi keselamatan lingkungan kampus
Keselamatan yang dirasakan dari kampus atau lingkungan sekitarnya memberikan pengaruh yang cukup besar pada kondisi psikologis korban. Dalam kasus di mana kampus atau institusi tidak menerapkan kebijakan komprehensif untuk mengatasi kekerasan seksual atau gagal menanamkan rasa aman bagi korban, suasana ketidakamanan ini dapat semakin memperburuk kecemasan, ketakutan, dan perasaan tidak berdaya yang dialami korban.
7. Batasan akses layanan kesehatan mental
Akses terbatas terhadap layanan psikologis atau sumber daya konseling di kampus dapat secara signifikan memperburuk status kesehatan mental korban. Dalam keadaan di mana mahasiswa tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mendiskusikan perasaan mereka atau menerima dukungan profesional, pemulihan emosional dan psikologis mereka mungkin sangat terhambat.
8. Media dan pengaruh sosial
Representasi kekerasan seksual di media, baik disebarluaskan melalui outlet berita atau platform sosial, secara signifikan membentuk interpretasi korban tentang pengalaman mereka. Ketika narasi media menggambarkan korban kekerasan seksual secara negatif atau menyalahkan mereka, itu dapat meningkatkan perasaan malu dan menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, media yang menawarkan representasi positif dan mendukung korban dapat memberikan rasa validasi dan penguatan psikologis bagi mereka.
9. Kondisi ekonomi dan sosial
Faktor penentu ekonomi dan sosial juga secara kritis mempengaruhi kesehatan psikologis korban. Mahasiswa yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung secara ekonomi atau kekurangan bantuan keuangan untuk akses ke perawatan terapeutik dapat mengalami tingkat tekanan yang meningkat. Ketidakmampuan untuk membayar konseling atau perawatan dapat menghambat proses pemulihan psikologis mereka.
10. Faktor internal: ketahanan dan mengatasi
Setiap individu memiliki kemampuan intrinsik untuk menahan stres atau pengalaman traumatis, sebuah fenomena yang disebut sebagai ketahanan (resiliens). Mahasiswa yang menunjukkan keterampilan koping yang unggul, atau mereka yang memiliki jaringan dukungan pribadi yang kuat dapat lebih mudah menunjukkan peningkatan kapasitas untuk memulihkan diri dari insiden kekerasan seksual. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki keterampilan koping yang efektif atau mengalami perasaan terisolasi umumnya lebih rentan terhadap perkembangan gangguan psikologis jangka panjang.
Secara keseluruhan, variabel-variabel ini berinteraksi dan secara signifikan berdampak pada proses pemulihan psikologis mahasiswa korban kekerasan seksual. Perhatian dan dukungan komprehensif dari banyak pemangku kepentingan, termasuk keluarga, kampus, dan organisasi masyarakat, sangat penting untuk membantu korban dalam mengatasi dampak psikologis yang mereka hadapi dan melanjutkan kehidupan mereka dengan lebih baik.